jump to navigation

Kelapa Muda (KJ 4) April 23, 2009

Posted by superwid in Jalan.
trackback

Sebelumnya

Pemandu wisata terbaik yang dapat Anda temui adalah orang setempat yang tahu betul tempat mereka tinggal, bangga akannya, dan tidak bekerja untuk suatu biro perjalanan. Telusurilah jalan, pilih seseorang dan tanyakan tentang di mana kantor pos misalnya. Jika ia kurang membantu, cari orang lain, dan saya jamin, sebelum hari berakhir kau dapat menemukan seorang teman yang Anda butuhkan.

Malam Jumat masih dianggap sebagai malam keramat oleh beberapa penduduk di Indonesia yang notabene mayoritas beragama Islam. Berdasarkan anggapan bahwa hari Jumat merupakan hari besar agama Islam, banyak kegiatan yang pantang dilakukan tiap malam Jumat.

Begitu pula yang terjadi di Kepulauan Karimunjawa. Pantang hukumnya bagi nelayan untuk berangkat melaut di malam Jumat. Malam Jumat biasanya diisi dengan pengajian di Pulau Karimun. Kalau mau melanggar, resiko ditanggung sendiri. Sampai saat ini hampir semua nelayan di Karimunjawa masih mematuhi tradisi itu.

Bukan sesuatu yang direncanakan kalau malam Jumat kami terpaksa menginap di Pulau Menjangan Besar. Membuat tenda di pulau yang tidak berpenghuni dengan kondisi alam yang tidak kami kenal sama sekali. Nekad? Mungkin iya. Modal kami ke Karimunjawa salah satunya memang kenekadan. Nekad dengan perhitungan.

“Tepat seminggu yang lalu, malam Jumat juga, ada beberapa mahasiswa kalau tidak salah dari ITB yang juga bikin tenda di Menjangan Besar sini. Tapi akhirnya mereka memilih numpang menginap di keramba ini. Katanya di sana banyak nyamuk. Tapi tidak tau juga sebenarnya kenapa. Nanti kalau kalian mau numpang menginap juga silakan saja. Tapi ya seadanya”, terang mas penunggu keramba.
“Oh, tidak usah mas. Kami sudah membangun tenda kok di Tempat Penetasan Penyu”, kata Mardi.

Saya memang sudah merasakan, nyamuk di Jepara mulai dari Batealit, Pulau Karimun hingga Pulau Menjangan Besar, semuanya gila darah manusia. Kalau menghisap darah suka tidak tau diri, sampai gemuk-gemuk dan susah terbang. Ditangkap pun jadi mudah. Tipikal nyamuk hutan yang jarang mengonsumsi darah manusia. Tidak cukup sampai di situ, bekas gigitannya juga membekas, meninggalkan bentol merah yang cukup besar.

“Sejujurnya, kami sebenarnya tidak berani kalau disuruh menginap sendirian di keramba ini. Daripada sendiri lebih baik kembali ke Pulau Karimun. Cari teman dulu. Soalnya memang banyak kejadian aneh selama kami menunggu keramba ini. Terutama di pulau. Kadang di kamar mandi di belakang itu. Ya begitulah kondisinya”, lanjut mas penunggu pulau menjelaskan kondisi Menjangan Besar yang tidak begitu bersahabat bagi pengunjungnya terutama jika malam Jumat tiba.

Itu yang diceritakan mas penunggu keramba kepada Mardi saat saya dan Rosi kembali ke tenda. Sialnya, dia tidak cerita pada saya dan Rosi. Namun ada untungnya dia tidak cerita juga. Kalau sampai menceritakan obrolannya dengan mas penunggu keramba cerita malam itu bisa lain. Saya pasti lebih memilih berdiam di tenda daripada keluar mencari kayu untuk membuat api unggun.

Perasaan saya sebenarnya mulai tidak enak sejak sore hari. Saat saya mengambil air di sumur yang letaknya agak masuk ke dalam hutan, ada perasaan aneh yang muncul. Kebetulan memang saat itu saya masuk ke dalam hutan sendiri. Saya tidak ingin membuat teman-teman yang lain menjadi panik dan berpikiran yang aneh. Lagipula saya kurang begitu mempercayai hal-hal klenik semacam itu. Saya percaya itu ada, namun selama tidak saling mengganggu ya seharusnya tidak ada masalah.

Tapi keberadaan kami di Pulau Menjangan Besar mungkin saja mengganggu mereka.

Pagi harinya.

“Coba di cek. Perasaan semalem ada yang jalan-jalan di depan, trus mainin alat masak kita”, Mardi mencoba keluar dari tenda dan melihat keadaan sekitar.

Mardi melihat-lihat kondisi sekitar tenda. Tidak ada yang aneh sama sekali. Kompor dan nesting yang semalam diletakkan di luar tenda tidak berubah posisinya. Tidak ada bekas kaki di depan tenda. Kalau ada yang berubah adalah kayu sisa api unggun semalam yang sudah menjadi abu.

“Yakin, semalam perasaan ada yang jalan-jalan di depan. Di depan tenda agak ke kanan. Di sekitar pohon itu”, jelas Mardi.

Di tempat yang ditunjuk oleh Mardi adalah semak-semak. Tempat saya mencari kayu di malam harinya.

“Wuah, jangan-jangan.. Gara-gara saya mengganggu habitatnya”, pikir saya.

Tapi saat sore hari ketika saya mendengar suara yang sama, tempatnya bukan di semak-semak itu, tapi di sebelah kiri tenda. Baru malamnya saya juga mendengar suara aneh itu di tempat yang sama seperti yang ditunjukkan oleh Mardi. Kata Mardi suara itu sering terdengar. Bahkan semalaman suara “srek-srek” itu tidak berhenti. Kata saya, cuma sebentar.

Cuma sebentar, karena saya langsung tidur dengan memanjatkan sebuah doa,

“Segala jurik, setan, pocong, jin, kuntilanak, tuyul, banaspati, wewe gombel, genderuwo, zombie, vampir, drakula, sundel bolong, lelembut, segala keturunan dan jenisnya mohon tidak menganggu saya. Kalau jin bolehlah menganggu Mardi, kalau manusia menganggu Rosi. Mardi kan punya bakat di bidang klenik, Rosi di bidang bela diri. Saya tidak punya keahlian apa-apa. Jadi jangan ganggu saya yang tidak tau apa-apa dan tidak berdosa ini”.

Beda dengan Mardi yang semalaman gelisah. Entah dengan Rosi. Saya tertidur dengan lelap, lengkap dengan mendengkur tapi tidak mengompol dan ngiler. Efek kecapekan mengangkat bata. Lebih beradab daripada Mardi yang sempat membuat tanda mata di tas Rosi dengan tetesan liur yang tapa disengaja mengucur dari mulutnya saat di Kapal Muria. Saya sempat terbangun beberapa kali, itu pun karena saya kepanasan di dalam tenda. Melongok sebentar ke luar tenda. Liat suasana, masih gelap, lalu tidur lagi.

Cukuplah semalam kami menginap di Menjangan Besar, sesuai dengan kesepakatan sebelumnya siang ini kami akan lanjut ke Menjangan Kecil.

Semalam, sebelum kami kembali ke tenda, kami dicegat Pak Moko dan diajak mampir ke Penginapan Hiu Kencana. Membahas rencana kami selanjutnya di Karimunjawa. Sekalian mengambil handuk kami yang ketinggalan di Penginapan Hiu Kencana. Sebelumnya handuk kami malah ketinggalan di Warung Bu Ester, Pak Moko berbaik hati membawakannya kepada kami. Tapi untunglah handuk ketinggalan di penginapan, jadi ada alasan untuk tidak mandi. Bodohnya Mardi, bukan saya, malamnya gantian joran pancing yang ketinggalan di Penginapan Hiu Kencana.

Begitu teringat akan joran pancing yang kemungkinan tertinggal di penginapan, Mardi memutuskan untuk mengeceknya.

“Saya mau ke Penginapan Hiu Kencana dulu, ngecek pancing”, kata Mardi setelah memastikan tidak ada yang aneh dengan tempat kami membuat tenda.

Rencana kami untuk beberapa hari ke depan adalah menginap di Menjangan Kecil sampai Sabtu siang kemudian kembali ke Pulau Karimun. Hari Minggunya ikut tamu Pak Moko, rombongan Jakarta yang berjumlah empat orang ke Pulau Tengah. Tiga cewek dan satu cowok. Numpang gitu. Biaya yang harus ditanggung adalah 50ribu per orang. Saya dan Mardi langsung menyetujui dengan alasan yang tidak perlu kami sebutkan. Itu belum termasuk sewa kapal kami ke Menjangan Besar dan Menjangan Kecil yang katanya lumayan murah, 125ribu. Rencana hari Minggu jalan-jalan di Pulau Karimun dan Pulau Kemojan dengan bermotor terpaksa dibatalkan.

“Saya mau menyusul Mardi ke penginapan. Sekalian mau numpang ke kamar mandi. Mau kelapa muda?”, saya bertanya pada Rosi.
“Boleh”.

Saya menyusul Mardi ke penginapan. Niatnya mau mandi, tapi kok jadi malas begitu melihat Mardi kembali dari penginapan. Aura Mardi membuat saya malas mandi. Saya solider dengan teman, dia belum mandi kenapa saya harus mandi. Sama rasa sama rata.

“Ngapain bawa parang?”, tanya Mardi.
“Mau ambil kelapa muda. Mana ya pohon kelapa yang pendek. Yang di dekat tenda ada, tapi tinggal yang tua aja. Yang muda udah habis kemarin dipetik”, jawab saya.
“Itu, banyak”, Mardi menunjuk pohon kelapa yang tingginya lebih dari 10 meter.
“Gilaa.. Ini aja yang pendekan”, saya menunjuk pohon yang lebih manusiawi untuk dipanjat.

Baru akan memanjat pohon kelapa.

“Eh, itu parangnya kenapa dibawa naik. Taruh bawah aja. Biar nanti kalau kamu jatuh lukanya nggak parah-parah banget. Kalau parangnya dibawa trus kamu jatuh, parangnya nancep kan gawat”, saran Mardi.

Jahat sekali orang ini. Belum juga naik sudah diperkirakan jatuh. Meruntuhkan mental. Dan memang mental saya runtuh di pijakan ke lima, baru sekitar tiga meter. Pohon kelapanya benar-benar vertikal, kalau ada bagian yang miring, kemiringannya tidak lebih dari lima derajat. Berat. Tangan saya sudah gemetaran dan lecet di beberapa bagian sementara kelapa muda masih jauh di atas.

“Sudah, saya menyerah. Pijakannya kurang mantap, kayaknya nggak pernah dipanjat ini pohon”, saya berkilah.

Salut buat para pemanjat pohon kelapa. Hamba menghaturkan kekaguman yang teramat sangat atas kemampuan Anda memanjat pohon kelapa.

Saya dan Mardi kembali ke tenda menemui Rosi tanpa sebutir pun kelapa muda di tangan kami.

Menu sarapan pagi itu adalah mi rebus dan sepotong cumi masak pedas ukuran jumbo yang kemarin dibeli di Warung Bu Ester. Bukan mi berlauk cumi tapi cumi berlauk mi. Hanya makan separuh saja sudah membuat perut ini eneg. Rosi makan sepotong kecil cumi dan sisanya dibuang ke tempat sampah berwujud manusia yang bernama Mardi.

Sebelumnya kami tidak lupa kami memesan satu perlengkapan snorkeling untuk persiapan ke Menjangan Kecil via SMS. Kata Pak Moko di sana bagus untuk snorkeling. Mardi sudah membawa satu set perlengkapan snorkeling minus kaki katak. Berhubung di Menjangan Kecil kami akan tinggal cukup lama, maka cukuplah dua set perlengkapan snorkeling itu. Bergantian.

Setelah sarapan kami menyempatkan diri main ke pantai yang sedang surut. Saat sedang surut, beberapa karang terlihat dengan jelas. Nampak beberapa Clown Fish yang karena kebaikan kami tidak sempat kami tangkap untuk dijadikan lauk. Lha bagaimana lagi, mau menangkap ikan sekecil flashdisk di tengah lautan bagaikan mencari gadis cantik di tengah hutan. Sulit, peluangnya minus.

“Sebentar, saya mau ke Penginapan Hiu Kencana duluan. Mau mandi sekaligus membuang apa yang harus dibuang. Nanti saya tunggu di sana aja. Kita langsung ke Menjangan Kecil kan?”, pamit Rosi membawa tasnya.

Saat Rosi berjalan menuju Penginapan Hiu Kencana, saya dan Mardi mengepak kembali tenda dan perlengkapan lain ke dalam kerir, membereskan sisa api unggun semalam. Begitu selesai, kami beristirahat sebentar.

“Eh itu bukannya Pak Moko”, Mardi menunjuk sebuah kapal yang datang ke arah kami.
“Entah”.

Memang itulah Pak Moko beserta beberapa petugas PHPA dan tukang bangunan. Rencananya mereka akan membuat tempat penetasan penyu hari ini. Bukan besok. Saya dan Mardi telat pergi dari lokasi kemping. Dengan alasan “tidak enak” kami membantu bapak-bapak petugas PHPA menurunkan bata (lagi). Kali ini batanya lebih padat, lebih berat dan lebih banyak. Selesai menurunkan bata dari kapal sekarang lanjut ke renovasi tempat penetasan penyu. Membuat lubang sedalam setengah meter dengan ukuran 3 x 1.5 meter, dua biji. Dua hari ini kami sah menjadi kuli bangunan. Rosi sudah menghilang di balik semak-semak kembali ke Penginapan Hiu Kencana. Betapa beruntungnya dia.

Pak Moko tidak lupa membawakan satu set perlengkapan snorkeling.

Baru jam setengah 10 kami memutuskan untuk menyusul Rosi ke Penginapan Hiu Kencana. Itupun karena bapak-bapak petugas PHPA sedang rehat sejenak. Dengan berbagai alasan yang ada dan diada-adakan kami berpamitan.

Di Penginapan Hiu Kencana, Rosi sedang berleha-leha di kursi di teras penginapan.

Kegiatan kami berikutnya adalah mandi. Saya sebenarnya betah kalau tidak disuruh mandi. Tapi demi alasan kenyamanan teman seperjalanan saya mengorbankan diri untuk mandi pagi itu. Terlebih lagi keringat yang mengucur deras sejak kemarin pagi belum sempat dinetralkan dengan air bersih. Melarutkan daki-daki yang mengendap beberapa hari pstilah baik untuk kesehatan kulit, menjauhkan berbagai macam jamur yang berpotensi menimbulkan panu, kadas kurap.

Setelah itu kami membantu Pak Moko dan Pak Sutrisno memberi makan tukik-tukik di Penginapan Hiu Kencana. Pak Sutrisno adalah Pelaksana Harian PHPA Karimunjawa lulusan UNS. Beliau yang bertanggung jawab atas program penetasan penyu, di bawah pengawaswan kepala balai.

Tukik-tukik diberi makanan berupa dua kilogram ikan kerapu (bukan dari jenis yang mahal) yang difillet kemudian ditusuk dengan lidi yang dipasangi gabus di kedua ujungnya agar daging ikan itu tidak tenggelam. Dua kilogram daging ikan itupun sebenarnya masih kurang, kata Pak Moko.

Kami meminjam dua pelampung dan meminta air bersih untuk bekal menginap semalam di Pulau Menjangan Kecil. Terima kasih buat ibu penunggu Penginapan Hiu Kencana. Biaya peminjaman seikhlasnya.

Hampir jam 11 siang ketika Pak Moko mengantarkan kami bertiga ke Pulau Menjangan Kecil meninggalkan Penginapan Hiu Kencana dengan sebuah kapal yang ukurannya cukup besar. Mungkin bisa menampung sekitar 15 orang. Pulau Menjangan Kecil berada di sebelah barat daya Pulau Menjangan Besar. Seperti biasa kami harus memutar menghindari karang dan keramba yang dibangun nelayan di lepas pantai. Karena memutar waktu yang dibutuhkan juga relatif lebih lama dari penyebrangan kami dari Pulau Karimun ke Menjangan Besar, sekitar 20 menit.

Pulau Menjangan Kecil dimiliki oleh Pak Haji. Pulau Menjangan Kecil hampir mirip dengan Pulau Menjangan Besar. Vegetasinya pun mirip, didominasi oleh pohon kelapa dan pohon cemara laut. Lengkap dengan semak-semaknya. Berbeda dengan Pulau Menjangan Besar yang tidak berpenghuni, di Pulau Menjangan Kecil ada sebuah cottage di bagian utara pulau yang semalam dihargai 300ribu. Antara tanah milik cottage dan tanah milik Pak Haji dibatasi sebuah pagar yang terbuat dari kawat berduri. Untuk sekedar masuk ke sana harus membayar sekitar 20ribu per perahu dan per orang 10ribu untuk ongkos masuk tempat wisata. Itu karena tanah milik cottage sudah dibersihkan dan nampak indah, beda dengan tanah milik Pak Haji yang terkesan tidak terawat. Semak-semak tumbuh dengan tinggi.

Dengan alasan tidak mau membayar, Pak Moko menyandarkan kapal di tanah milik Pak Haji.

“Nanti saya kenalkan kepada penjaga pulau dan penjaga cottage. Siapa tau kalian bisa bikin tenda di cottage”, kata Pak Moko yang beranjak menuju cottage.

Saya dan Rosi membuka matras di tepi pantai. Mardi dengan sigap segera terjun ke laut, snorkeling di siang hari yang panas. Dengan pelampung dan kacamata snorkeling dia lebih mirip gajah laut.

Mardi yang sudah mabuk laut kembali ke daratan. Mencari galah untuk mengambil kelapa muda yang banyak tumbuh di pulau ini. Satu butir kelapa berhasil dijatuhkannya dari pohon kelapa yang tidak begitu tinggi. Itu pun dengan perjuangan sekuat tenaga. Dasar bukan pemetik kelapa, kelapa muda yang dipetiknya sudah tidak layak disebut kelapa muda. Tapi cukup layak untuk diminum airnya karena memang tidak ada minuman lain yang menyegarkan. Apalagi buat saya yang selama di Menjangan Besar ngidam air kelapa muda. Daging buahnya menjadi santapan Mardi.

Ada sebuah rumah yang berdiri di Pulau Menjangan Kecil. Bukan bagian dari cottage karena rumah ini nampak seperti rumah yang dibangun bukan untuk ditinggali secara permanen. Dindingnya terbuat dari gedeg (anyaman bambu) dan atapnya menggunakan daun kelapa. Hanya di bagian depan saja yang menggunakan genting untuk atapnya. Ada sebuah bangku panjang dan bale-bale.

Saya dan Rosi menumpang berlindung dari sengatan sinar matahari siang yang sangat panas itu di rumah tersebut. Saya tertidur.

Saat saya sedang tidur, datang dua orang bapak-bapak berbadan tegap dan berotot yang datang. Saya tidak tau siapa mereka. Mardi dan Rosi yang ngobrol dengan mereka. Saya tidur dengan lelapnya. Jatah istirahat setelah mencangkul.

Ketika terbangun sudah ada empat kelapa muda yang terhidang di depan kami.

“Tadi dipetik sama bapak-bapak ini”, kata Mardi.

Haha.. Terpuaskan nafsu saya minum air kelapa muda. Hampir sebagian besar air kelapa muda saya minum. Sisanya dibagi Mardi dan Rosi. Daging buahnya menjadi jatah Mardi. Air kelapa muda di tengan pulau tidak berpenghuni bagaikan Pocari Sweat dingin di tengah panasnya kota.

Tidak sampai satu jam kemudian langit nampak mendung. Beberapa saat kemudian turunlah hujan yang cukup lebat. Di pulau yang tidak begitu besar ini, hujan terasa sangat menyeramkan. Tidak ada penghalang angin yang datang dari laut mengakibatkan pohon-pohon kelapa bergerak liar tertiup angin.

“Ini masih biasa, kalau pas musim angin barat anginnya lebih kuat dari ini”, kata si bapak.

Musim angin barat merupakan musim yang cukup ditakuti oleh penduduk Karimunjawa. Angin yang bertiup kencang dan ombak yang bergulung tinggi membuat ciut nyali nelayan. Musim angin barat merupakan musim paceklik bagi nelayan. Banyak kecelakaan yang terjadi saat musim angin barat. Kejadian tenggelamnya kapal di Perairan Mandalika juga terjadi saat musim angin barat. Mayatnya kadang ada yang terbawa sampai ke Kepulauan Karimunjawa.

Beberapa keramba yang dibangun di sekitar Pulau Menjangan Besar juga sempat rusak saat bulan Desember hingga Februari, waktu dimana musim angin barat melanda Kepulauan Karimunjawa. Angin yang menerpa keramba membuat beberapa atap keramba hancur, begitu pula beberapa bangunan semi permanen yang dibangun di atas keramba tempat menginap para penunggu keramba sempat rusak di beberapa bagian.

Kerir dan barang-barang kami yang lain ikut-ikutan berteduh di rumah yang hanya satu-satunya di Menjangan Kecil.

“Pak Moko mana? Kok nggak keliatan?”, tanya saya.
“Nggak tau, apa masih di kapal ya”, jawab Mardi.

Saat hujan reda, dua orang bapak-bapak penunggu rumah berpamitan akan memetik kelapa lagi. Ternyata mereka orang-orang yang dipekerjakan Pak Haji untuk memetik buah kelapa di Pulau Menjangan Kecil.

“Maaf, saya tadi ketiduran”, kata Pak Moko yang datang tiba-tiba.

Pak Moko mengajak kami menuju cottage meskipun masih gerimis. Menunjukkan tempat-tempat yang bisa digunakan untuk membuat tenda.

“Di sini memang bersih, nyaman. Kamar mandi juga ada. Cuma di sini ada anjingnya, dan kalau penanggung jawab cottage-nya datang kalian harus waspada. Soalnya orangnya agak galak. Kalian harus bayar sama dia kalau ketahuan bikin tenda di sini. Kalau mau yang gratis ya di luar pagar cottage”, jelas Pak Moko saat kami menyusuri pantai yang ada di halaman cottage.

Beberapa meter keluar dari halaman cottage.

“Biasanya kalau pada bikin tenda ya di sini. Di depan sana bagus buat snorkeling. Tapi di sini nggak ada kamar mandi, kalau mau ke sumur ya terpaksa harus ke rumah tadi”, kata Pak Moko.

Antara rumah dan lokasi ini sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh, melalui jalan setapak yang membelah pulau hanya dibutuhkan waktu kurang dari lima menit. Sumur terletak di dekat rumah. Sumur air tawar meskipun rasanya tidak sepenuhnya tawar, yang pasti kandungan garamnya tidak sepekat air laut.

Masalahnya, yang disebut dengan “kamar mandi” di sini hanyalah sebuah bangunan tidak beratap yang di dua sisinya ditutup dengan gedeg, sedangkan dua sisi lainnya tidak ada penutupnya sama sekali. Hanya semak-semak yang tumbuh cukup tinggi yang melindungi orang-orang bugil yang mandi atau buang air di situ. Bukan masalah besar buat saya dan Mardi, tapi buat Rosi yang di KTP berjenis kelamin perempuan?

“Jadi kita menginap di mana? Di rumah ini, di cottage atau bikin tenda?”, tanya Rosi.

Menginap di cottage membutuhkan biaya 300ribu, opsi ini langsung dicoret. Membuat tenda di halaman cottage berpotensi menimbulkan konfrontasi dengan anjing penunggu cottage. Saya, yang takut anjing, mencoret pilihan ini. Menumpang di rumah memang cukup nyaman, tapi tidak enak dengan si penunggu rumah.

“Saya pamit dulu, mau kembali ke Menjangan Besar. Mau bantu-bantu bikin tempat penetasan penyu. Nggak enak yang lain kerja saya malah di sini”, Pak Moko berpamitan sekaligus berpesan kepada kami untuk menjaga diri.

Begitu Pak Moko menghilang dari pandangan, Rosi dan Mardi memaksa saya mengeluarkan peralatan masak dari kerir. Padahal kompor, nesting dan gas saya letakkan di dasar kerir, untuk mengeluarkannya harus mengobrak-abrik isi kerir. Saya yang berhati malaikat tidak kuasa juga menahan teriakan cacing-cacing kremi Mardi dan Rosi yang berteriak-teriak meminta jatah. Apalagi Rosi yang belum sempat sarapan tadi pagi.

Dua bungkus mi dimasak Rosi untuk dirinya sendiri dan Mardi. Saya hanya membuat segelas Milo yang cukup untuk mengembalikan tenaga. Berhubung saya sudah kenyang minum air kelapa saya menolak jatah mi untuk makan siang.

Belum juga mi habis dimakan, datang sepasang manusia. Sepasang normal, laki-laki dan perempuan. Menyapa kami dan masuk ke rumah melalui pintu belakang kemudian selanjutnya membuka pintu depan dan menyapa kami kembali.

“Mau nginep mbak?”, tanya si ibu.
“Iya Bu”, jawab Rosi.
“Nginep di sini aja, tidak apa-apa. Tempatnya luas”, si ibu menawarkan.
“Oh, nggak usah Bu. Ini terserah teman-teman saja. Tapi kayaknya mau bikin tenda aja”, kata Rosi.

Mardi pergi ke kamar mandi. Dia berniat mandi setelah sempat snorkeling sebentar di Menjangan Kecil dan tidak mendapatkan pemandangan yang diinginkannya.

“Oh, kalau mau bikin tenda juga tidak apa-apa. Biasanya pada bikin tenda di sebelah barat sana. Itu yang di dekat kuburan”, kata si ibu.
“Kuburan? Kuburan apa Bu?”, saya menyelidik. Pengalaman di Menjangan Besar menjadi pelajaran berharga buat kami.
“Kuburan orang, kalo tidak salah ada dua ya Pak di Menjangan Kecil ini? Yang satu ada di belakang rumah ini. Tapi agak jauh. Di tengah pulau, dekat pagar yang memisahkan tanah milik Pak Haji dengan cottage. Mayat temuan. Kepalanya sudah tidak ada waktu dikubur. Nanti kalau kalian lewat jalan setapak di belakang rumah ini kuburannya ada di sebelah kanan, tapi saya tidak tau masih keliatan apa tidak kuburannya. Satunya di sebelah selatan sana. Sama, mayat yang hanyut juga”, jelas si Ibu.

Saya bingung juga. Bikin tenda atau menumpang menginap di rumah ini.

Mardi kembali dari kamar mandi, gantian saya yang ke kamar mandi. Mandi lagi. Keringetan.

Begitu kembali lagi ke rumah saya sengaja tidak menceritakan masalah dua kuburan itu kepada Mardi. Takut dia paranoid. Dia kan sensitif masalah dunia ghoib.

Tanpa disangka saat saya kembali ke rumah itu sudah ada tiga butir kelapa muda lagi yang siap untuk digarap. Berhubung di antara kami tidak ada yang berpengalaman membuka kelapa muda dengan parang tumpul hasil meminjam kepada Pak Moko, si ibu yang membukakan kelapa muda itu.

Pesta kelapa muda lagi.

Dari obrolan kami dengan si ibu, ternyata Pak Haji mempekerjakan empat orang untuk memanen kelapa di Pulau Menjangan Kecil milik Pak Haji. Dua orang bapak-bapak yang tadi sudah pergi bertugas memetik kelapa dan mengulitinya. Sedangkan si bapak-ibu yang baru datang bertugas mengangkut hasil panenan kelapa ke Pulau Karimun yang nantinya akan dibawa ke Jepara dengan memanfaatkan jasa Kapal Muria. Mereka berempat hanya tinggal di Pulau Menjangan Kecil saat memanen kelapa, paling lama seminggu. Itu pun tidak tiap bulan. Alasan kenapa ada rumah yang dibangun di tengah pulau ini.

Sistem gaji keempat orang itu adalah bagi hasil untuk pemetik kelapa, tiap 1000 butir kelapa mereka mendapat jatah 125 butir kelapa. Sedangkan untuk si bapak-ibu yang mengangkut kelapa dari Menjangan Kecil ke Karimun mendapat bayaran 90ribu per 1000 butir kelapa. Tiap kali panen paling tidak ribuan kelapa yang bisa dipetik dan diangkut dari Menjangan Kecil ke Karimun. Untuk panen kali ini, 9000 butir kelapa berhasil diangkut dari Menjangan Kecil.

Kami beruntung bertemu mereka, dapat kelapa muda gratis tambah ilmu pula.

Saat langit mulai cerah kami berpamitan kepada bapak-ibu penunggu rumah. Dua butir kelapa muda diberikan kepada kami untuk bekal.

Akhirnya kami memutuskan membangun tenda di bagian barat pulau. Di tempat yang kata Pak Moko bagus untuk snorkeling dan menghadap langsung ke laut luas.

Bersambung ke KJ 5.

Comments»

1. sita - April 24, 2009

katanya…kelapa muda baik untuk janin lho…hahahahaha:D

Tapi sayangnya saya tidak mau punya janin, biarlah kelak istri saya yang mengandung janin hasil hubungan saya dengannya. Akan saya cekoki dia dengan kelapa muda.

2. Aday - June 6, 2009

lanjut KJ 5….

btw, mabuk kelapa gak koe wid??hehe
prasaan tiap kali ono kelapa pasti koe paling akeh minum airnya

Yah itu daripada terbuang sia-sia mending dimasukkan ke perut saya.

3. james - September 18, 2009

seruuu, ada nomer telp pak atau bu moko?

Ada sebenernya, tapi kalau berminat via PM saja. Silakan hubungi email saya.


Leave a reply to sita Cancel reply