jump to navigation

Janji July 8, 2009

Posted by superwid in Jalan.
trackback

Tadi saya baru menjemput Bapak Simbok saya di stasiun, baru pada pulang dari Bandung. Kan saya sudah janji mau menjemput, jadi meskipun pagi-pagi buta saya musti bangun.

Saya pernah naik pesawat meskipun hanya beberapa jam. Saya juga pernah naik kapal laut meskipun hanya beberapa puluh kilometer. Saya sering naik bus, apalagi untuk perjalanan antar kota antar propinsi. Akan tetapi di antara ketiga alat transportasi tadi, saya lebih menyukai kereta api. Saya posisikan kereta api sedikit di atas bus jika diantara keempatnya harus dibandingkan.

Kereta api eksekutif selayaknya dibandingkan dengan bus eksekutif. Sama-sama nyaman dengan fasilitas kursi yang empuk, full AC, selimut dan makanan gratis. Satu hal yang membedakan keduanya terletak pada jalur yang dilalui. Kereta api melaju di atas rel sedangkan bus di atas jalan.

Kereta api punya jalur sendiri yang tidak bisa diganggu gugat oleh moda transportasi lain. Kendaraan bermotor pun harus mengalah jika ada kereta api lewat, jadi bisa dipastikan tidak banyak hambatan yang mesti dilalui kereta api saat melakukan perjalanan antar kota. Kalau harus berhenti, kereta api memilih stasiun-stasiun yang besar. Beda dengan bus yang musti berbagi jalur dengan truk, kendaraan pribadi dan kadang penyempitan jalan yang memperlambat perjalanan. Belum lagi dengan peraturan jalan raya yang mengharuskan kendaraan berhenti jika ada lampu lalu lintas yang menyala merah, batas kecepatan kendaraan saat melalui tempat-tempat ramai dan tentu saja harus berhati-hati di jalur perlintasan kereta api kalau tidak mau bus disambar loko.

Menyenangkan bukan, tidak perlu ribut dengan jalanan yang macet atau kekhawatiran akan sopir yang ugal-ugalan saat menyalip kendaraan lain. Dalam kamus perkeretaapian tidak ada istilah menyalip dari kanan. Bagaimana mau menyalip kalau jalurnya cuma satu.

Jalur rel kereta api pun menyajikan pemandangan yang indah nan spektakuler. Melalui terowongan panjang yang gelap, menembus rimbunnya hutan jati, membelah hamparan sawah hijau yang terbentang luas sejauh mata memandang.

Namun ada satu hal yang khas dari kereta api : suara dan getaran yang rutin timbul saat kereta berjalan. Benturan yang terjadi antara gesekan roda gerbong dan sambungan rel itu sungguh tidak menyenangkan bagi saya. Itulah satu-satunya kekurangan kereta api daripada bus.

Menutup telinga dengan headphone bisa mengurangi suara yang ditimbulkan, tapi apa iya selama perjalanan mau pakai headphone. Kata Pak Dokter itu tidak baik buat telinga. Lalu untuk meredam getaran? Kelihatannya tidak ada yang bisa mengatasi kelemahan ini, kecuali jika PT KAI mengganti infrastruktur kereta api seperti halnya infrastruktur Shinkazen atau Eurostar.

Itu dalam kasus kereta api eksekutif. Nah saya kan lebih sering naik kereta api ekonomi. Tentunya tidak ada kursi empuk, full AC, selimut dan makanan gratis. Kursinya keras, apalagi untuk orang-orang berpantat tipis. AC diganti dengan angin sepoi-sepoi yang masuk dari celah-celah jendela yang kacanya sudah tidak layak pakai. Selimut? Buat apa selimut di gerbong yang panas. Makan tersedia, tapi perlu ditebus dengan uang alias beli dari pedagang asongan. Malahan kalau beruntung kadang ada teman yang menemani selama perjalanan, namanya kecoa.

Suara dan getarannya? Lebih kencang dan mantap.

Nah kok masih memilih kereta api ekonomi? Jawabannya karena tiket kereta api kelas ekonomi lebih murah pula dibandingkan tiket bus ekonomi yang musti ditebus untuk jarak yang sama.

Saya kan tidak punya banyak uang untuk mencicipi kereta api eksekutif sering-sering. Lagipula saya suka angkutan kelas ekonomi, seperti sudah pernah saya bilang sebelumnya.

Di samping itu semua, ada satu hal yang paling saya suka dari kereta api dan alasan saya menempatkan kereta api di atas bus adalah stasiunnya. Stasiun adalah romantisme. Tidakkah sering stasiun dijadikan ajang romantisme di sinetron atau film. Stasiun adalah tempat pertemuan sekaligus perpisahan yang sangat sempurna.

Stasiun jauh berbeda dari terminal atau bandara. Stasiun adalah kombinasi keduanya. Ramai seperti terminal, penuh sesak dengan penumpang berbagai kasta yang mewakili aspek kebersamaan namun tetap rapi dan nyaman seperti bandara yang menyiratkan keindahan. Tidak ada debu dan asap kendaraan bermotor yang mengganggu. Dinding-dindingnya tidak hitam dan kotor. Akan tetapi juga tidak eksklusif seperti ruang tunggu bandara yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang bertiket. Jadi kalau stasiun dijadikan sebagai ajang romantisme itu sungguh tepat, kombinasi tepat antara kebersamaan dan keindahan.

Kenapa stasiun adalah romantisme, ya karena saya pernah mengalaminya.

Dulu saya pernah ke Kota Besar. Tidak sering saya ke Kota Besar. Saya memang tidak suka ke Kota Besar, ongkosnya mahal dan biaya hidupnya selangit. Tapi demi sebuah acara saya terpaksa ke sana, juga untuk memenuhi janji saya bertemu seseorang.

Saya datang ke Kota Besar naik bus eksekutif, itu atas kebaikan si Mbak saya yang tidak rela adiknya musti naik kereta ekonomi. Si Mbak memberikan tiket bus eksekutif. Coba kalau sama si Mbak dikasih mentahannya, bisa dimanipulasi. Beli tiket kereta ekonomi yang harganya jauh di bawah bus eksekutif dan sisa uangnya untuk berfoya-foya. Namun apalah daya, yang diberikan sudah berbentuk tiket. Lumayan lah sekali-kali naik bus eksekutif.

“Katanya mau ke Kota Besar, katanya mau maen di kota ini. Bohong!”, tanya si Cipluk via hape.

Tidak saya balas. Lha wong saya lagi di Kota Besar, kebetulan saya belum bertemu dia. Saya yakin kalau dia datang karena dia sudah bilang sebelumnya mau datang ke acara ini.

Saya nongkrong bersama teman-teman. Menunggu acara selesai, lagipula saya tidak berminat untuk mengikuti acara. Badan masih berasa lelah karena perjalanan yang cukup panjang dengan suasana yang nyaman. Kelemahan saya kalau sudah mendapatkan sesuatu yang nyaman adalah tidur dan kadang kalau sudah keasyikan tidur jadi ingin tidur terus. Jadi tidak punya semangat untuk melakukan aktivitas apapun.

Pluk.. Pluk.. Pluk.. Cipluk datang dengann santainya. Tidak melihat saya atau lupa mungkin. Terakhir rambut saya masih panjang, mungkin seperti itulah yang masih ada di ingatan Cipluk. Sekarang rambut saya pangkas, rapian dikit.

Saya memperhatikannya, dia tidak memperhatikan saya. Saya diamkan dia, dan dia memang tidak tau kalau ada saya di sana.

“Eh, ada di sini juga kamu. Kok nggak bilang-bilang?”, tanya Ocep.
“He.. Kejutan Cep.. Ini juga dapet tiket dadakan, ada malaikat yang berbaik hati memberikan tiket gratis”, jawab saya.
“Wah.. Tiket gratis apa tiket gratis? Udah ketemu Cipluk?”, tanya Ocep.
“Belum Cep, lagi sibuk dia, banyak fans. Saya nunggu sini aja. Ngadem”, kata saya.

Ocep memanggil Cipluk.

“Pluk, ada tamu jauh”, teriak Ocep pada Cipluk.
“Hah. Apaan?”, Cipluk bingung.

Cipluk datang menghampiri saya dan Ocep.

“Loh, dateng juga.. Tak kirain nggak dateng. Udah di sms juga nggak bales”, kata Cipluk.
“He.. Sayang pulsa, nanti pasti ketemu juga kan”, saya cuma cengar-cengir.
“Huuh.. Sombong!”, Cipluk protes.
“Katanya mau ngajakin muter-muter kota. Mana?”, saya menagih janjinya. Dulu katanya kalau saya datang ke Kota Besar dia mau mengajak saya jalan-jalan keliling kotanya.
“Yah, maaf ini ada urusan jadi nggak bisa kemana-mana. Ini saja disempet-sempetin datang soalnya udah janji mau datang. Sebentar lagi mesti gerak ke tempat lain”, Cipluk sok sibuk.
“Terserahlah”.

Saya capek, efek lain kalau masih mengantuk adalah bicara sekenanya karena sudah malas berpikir memilih kata yang lebih sopan.

Cipluk pergi. Saya mengantuk.

Esoknya ketika saya akan pulang ke kampung, sempat saya hubungi Cipluk. Iseng-iseng.

“Pluk, nanti saya pulang. Nggak dianterin di stasiun ni? Biar keliatan romantis gitu. Masa’ cuma dianterin Ocep”.

Cipluk membalas.

“Waduh, ini urusannya belum selesai. Maaf”

Ya sudahlah, mungkin memang belum jodoh saya untuk banyak ngobrol dengannya. Lebih dekat dengannya. Yang penting saya sudah memenuhi janji saya untuk datang mengunjunginya di kotanya.

Saat saya di stasiun, beberapa saat sebelum saya naik kereta ekonomi, Cipluk sempat sms,

“Hati-hati. Aduh maaf kemaren nggak sempet ketemu lama dan ngobrol banyak soalnya sudah ada janji. Coba kemaren bilang-bilang dulu kalau mau ke sini. Lain kali. Pasti. Janji. Saya jemput di stasiun deh.”

Comments»

1. Aneh - July 9, 2009

Jatuh aku. . .

Jatuh cinta mbak?

Aneh - July 9, 2009

Enggak… Jatuh aja. Kan malas jatuh cinta ^_^

2. han - July 9, 2009

hm..hm…
penasaran saya

Penasaran juga.

3. afiemaniez - July 10, 2009

hmmm stasiun…..good posting ^.^v

Maunya bandara, tapi tiket pesawat mahal.

afiemaniez - July 10, 2009

salah ding.. mungkin lebih tepatnya nice posting…^.^v
*good posting?? kayak saya guru bahasa Indonesia ajah!

Pakai Bahasa Indonesia saja biar kata-katanya tidak rancu.

4. Sangprabo - July 10, 2009

Setuju soal romantisme di stasiun! Hehehe. Hla wong di lagu2 romance, kebanyakan yang disebut itu ya stasiun.. Misal lagunya didi kmpot,sepasang mata bola….apa lg ya?

Iwan Fals – Kereta Tiba Pukul Berapa dan entah kenapa setiap mendengar lagunya Sheila on 7 yang Tunggu Aku di Jakarta, kok berasa ada yang menunggu di Stasiun Gambir Jakarta ya. Berharap ada yang menunggu di sana tepatnya.

5. septoadhi - July 15, 2009

bwuhuhuh, cintaaa… dari dulu deritanya memang tiada akhir..
hahayyy πŸ˜†

Siapa bilang ini tentang cinta?

afie - July 15, 2009

tapi tetap saja banyak yang rela menderita kan? kan? kan? beeuuh! πŸ˜€

Siapakah yang rela itu tante?

6. joesatch yang legendaris - July 26, 2009

balapan saja. saya pernah sebecak berdua sama desti waktu ke situ. ya tuhan, saya kangen desti. celaka…saya berniat merebut istri orang.
πŸ˜†

Sudahlah, meskipun Desti Purbalingga sudah dipersitri orang, Desti Jakarta sudah mau diperistri orang, toh masih ada Desti Medan yang selalu ada untukmu.

Aday - August 31, 2009

tenane si desti jakarta udah mo nikah?
duh…smoga temenku yg di jogja gak nyusul temennya yg sudah duluan pernah gila…..

Itu temanmu yang mana ya? Hehew..

7. Aday - July 29, 2009

merana sekali kau wid….
besok dicoba saja..datang lagi kesana..
dijemput di stasiun apa tidaaaaaaaaaaaq??

Besok saya mau naik pesawat saja!

8. hans - July 31, 2009

jare numpak ekonomi, medunmu ra neng gambir…tapi ps senen..

Itu kan pulangnya dari Kota Besar. Anda ini bagaimana?


Leave a reply to han Cancel reply