jump to navigation

Gamang January 6, 2014

Posted by superwid in Bukan Saya.
trackback

Pagi itu libur dan saya mengintip dari balik tirai jendela, mengawasi rumah Dadan Galau yang jaraknya hanya selemparan batu. Saya mau main ke rumahnya tapi tidak mau tenaga saya terbuang sia-sia dan hanya mendapat lapar dahaga. Maklum, dia tipikal kuli sibuk. Kalau tidak kerja ya suka bersepeda sebagai salah satu program dietnya. Jadi daripada saya ke rumahnya tiada bersambut lebih baik saya amati dulu sambil minum es serut. Sruuuuutttt….

Setelah diamati dengan seksama, indikasi lampu luar yang masih menyala, mobil terparkir sembarangan, telepon dan sms yang tidak terbalas bisa saya simpulkan kalau dia masih belum lepas dari kasur. Saya sudah hapal dengan kelakuannya, kala akhir pekan tiba tidurnya bisa tidak kira-kira. Sampai jodohnya habis dipatok ayam juga dia tidak akan terjaga. Bagaimana tidak hapal, hampir enam bulan lamanya kami berbagi kamar waktu masih jadi kuli percobaan. Maka dari itu kadang saya sering diminta menginap di rumahnya.

“Demi mengenang masa lalu teman, apakah kamu sudah lupa?” Nehi!

Saya ketok rumahnya, pasti tidak akan terbangun. Saya gedor jendelanya, paling mentok cuma ngolet. Saya klakson mobilnya, baru dia mengintip dari balik jendela.

“Hoi ada apa pagi-pagi begini sudah ke rumah?” tanya Dadan dengan perut gembul yang mengintip dari balik kaosnya. Seksi dan nggilani.

Saya cengengesan. Lalu Dadan membukakan pintu.

Saya dan Joko Buras memang lumayan sering main ke rumah Dadan. Rumah Joko ada di sebelah persis rumah Dadan. Jadi kadang kalau saya sedang beranjangsana ke rumah tetangga ini sekalian ambil paket kombo. Numpang makan di tempat Joko, ngemilnya di rumah Dadan. Di rumah Dadan ini memang banyak sekali stok camilan yang menggoda iman. Pantas saja program dietnya gagal dan perutnya masih saja gembul. Lha sudah diniatkan makan sehari dua kali namun ngemil tiada henti.

Lagipula makanan kepunyaan dan bikinan teman itu jauh lebih nikmat daripada kepunyaan dan buatan sendiri. Itulah salah satu yang mendasari prinsip ekonomi. Irit pangkal medit bin pelit.

“Ada apa gerangan wahai temanku? Tidak biasanya pagi-pagi di hari libur seperti ini kamu bermain kemari?” tanya Dadan.
“Iseng saja, sedang tidak ada kerjaan di rumah,” saya ambil toples agar-agar Inaconya sambil menyalakan televisi sementara Dadan segera mengambil posisi. Untuk tidur lagi.

Sebagai teman yang baik, saya nyalakan televisi dengan volume keras dan menggelitiki kakinya dengan sapu lidi. Saya tidak rela jika dia kembali ke alam mimpi. Masak saya jauh-jauh main ke rumahnya cuma disuguhi setoples Inaco. Mana kenyang? Harusnya dia segera beranjak ke dapur dan mengambilkan stok camilan lain yang mengenyangkan. Hari itu paket kombo Joko-Dadan sedang tidak berlaku karena kebetulan Joko subuh tadi berangkat mengemban tugas negara. Jadi saya tidak bisa numpang sarapan.

Dadan bangun dengan malas sambil melempar bantalnya ke arah saya. Karena tidak siap, jelly yang sudah tinggal sedot kena hidung dan terjatuh ke lantai.

“Belum lima menit,” sayang kalau tidak dimakan.

“Pagi-pagi sudah bikin keributan, ada apa memangnya?” tanya Dadan.
“Saya kan tamu, mau berkunjung. Harusnya saya kamu muliakan,” jawab saya.

Dadan masuk dapur. Diambilnya sekantong besar keripik kentang, dibuka dan segera dimakannya. Saya icip dikit juga.

“Semalam saya kurang tidur. Saya sedang gamang ini dengan Doli, kepikiran sampai susah tidur. Bingung saya dibuatnya. Kemarin terakhir kami bertemu dan sempat jalan bareng, Doli nempel kayak perangko. Diajakin makan mau, nonton mau, gandengan tangan mau tapi sekarang kok sepertinya dia menjauh ya. Saya telepon tidak diangkat. SMS tidak dibalas. Kenapa ya?” tanya Dadan.

Saya cuek sambil makan keripik kentang diselingi jelly plus nonton televisi. Dadan adalah tipikal orang yang suka bercerita tanpa diminta. Kadang tiba-tiba dia bercerita tentang kisah cintanya yang pilu, hingga berfilosofi tentang kehidupan dunia. Dadan juga termasuk tipikal pria yang susah dipegang janjinya, apalagi menyangkut soal cinta. Dia, sekali waktu, pernah bilang pada saya bahwa dia akan melupakan Doli. Itu katanya dua tahun yang lalu. Namun kenyataannya dia mengingkarinya jua.

Janjinya dia tidak akan menghubungi Doli lagi sejak pertemuan terakhir yang membawa duka karena si wanita lebih memilih pergi dengan teman prianya. Tetapi ketika sebuah pesan singkat masuk ke telepon genggamnya, Dadan kembali menumbuhkan harapan bahwa Doli akan segera menyambut cintanya.

“Hoi kenapa hoi,” tanya Dadan lagi.
“Sudah cari yang lain saja. Dia lagi cari pelarian itu,” balas saya sekenanya.
“Tapi kan Doli tidak punya pacar,” balas Dadan.
“Ah itu hanya kedok saja. Paling kamu hanya dimanfaatkan saja, sebagai salah satu dayang dalam kehidupan cintanya. Lagipula kamu kan tidak ganteng-ganteng amat. Mana mau Doli sama kamu. Coba kita berpikir positif. Bayangkan sekarang dia sedang nonton dan bermesraan dengan lelaki lain. Kemudian berboncengan naik motor sambil merapatkan badannya. Oh indahnya dunia. Kemudian mereka booking kamar terus terjadi hal-hal yang tidak terduga. Seperti… Seperti..,” kata saya bermisteri.
“Kampret! Teman macam apa kamu ini. Bukannya memberikan semangat tapi malah menjatuhkan mental. Bukannya sedih tapi malah senang. Setali tiga uang sama si Joko. Teman palsu. Beda sama Nurlela yang selalu memberikan semangat,” protes Dadan.
“Saya tidak senang apalagi bahagia Dan, lihat saya. Lihat muka saya. Ini lagi sedih lho,” kata saya sambil cengengesan. Ketawa. Mengejek.
“Semprul. Telek pit**,” protes Dadan lagi.
“Hehehe.. Teman yang baik itu ya Dan, kalau temannya senang maka ia juga turut senang. Kalau temannya sedih, ia bakalan jauh lebih senang,” saya membela diri dan guling dilempar ke arah saya.

Saya bukannya tidak berempati dengan kesedihan Dadan yang semakin gamang dan bimbang dengan sikap Doli. Ini cerita lama. Sejak tiga tahun lalu dia mendekati Doli namun belum ada penyelesaian yang jelas. Tarik ulur seperti layangan. Sudah saya bilang untuk melupakannya tapi Dadan tidak menurut. Ya sudah. Pasrah.

Bukan berarti hidup Dadan menderita seperti kisah asmara yang diceritakannya. Kehidupan cinta Dadan jauh lebih bahagia ketimbang Kojrat yang merana karena cinta. Banyak wanita yang jatuh hati pada Dadan. Teman saya ini bukan tipikal pria kebanyakan, bahkan bisa dibilang Dadan ini keren. Keren dalam arti yang tidak biasa. Dia banyak mempunyai kelebihan yang bakal membuat wanita menjerit. Ketakutan. Eh maksud saya menjerit histeris. Bukti kelebihannya, banyak permpuan yang sebenarnya bersedia digebetnya. Mulai dari anak dokter langganan bapaknya yang cantik dan kaya raya, atau model dan pramugari maskapai ternama yang punya bodi bohai dan semampai, sampai eksekutif muda ibukota yang aktif dan selalu riang gembira. Tapi entah kenapa hatinya masih tertambat pada Doli tercinta. Alhasil kisah cintanya lebih banyak mirip kopi hitam dengan sedikit gula, manis sedikit pahit seterusnya. Padahal dia sudah ngebet bin kebelet ingin segera menyalurkan hasrat terpendamnya untuk bersanding di pelaminan dan berkembang biak.

“Saya pernah bilang cinta ke Doli. Tapi dia diam seribu bahasa. Saya desak katanya dia mau berteman dulu saja. Sedih rasanya cinta ditolak. Apakah kali ini saya harus minta dukun bertindak?” tanya Dadan sambil menerawang mengingat kisah pernyataan cintanya yang berakhir memilukan.

Saya mendengarkan malas dan kemudian teringat sebuah kalimat pusaka yang diucapkan Lupus pada Boim terman tercintanya yang saya ulang kepada Dadan.

“Santai saja Dan, ditolak kan belum tentu diterima.”

Dan sebuah sendal melayang ke arah saya. Untungnya saya sempat menghindar sambil membawa setoples agar-agar Inaco stok camilannya. Ah biarkan saja, besok juga dia akan datang kembali pada saya ataupun Joko, teman-teman palsunya, sembari tersenyum kecut mungkin menangis dalam hati dan kembali bertanya.

“Kenapa Doli menolak saya ya?”

Comments»

1. sangprabo - January 6, 2014

Uyeaahh… Blog ini hidup lagi!

2. septoadhi - January 13, 2014

hore apdet! salam buat jabang bayi :3


Leave a reply to sangprabo Cancel reply