jump to navigation

Gamang January 6, 2014

Posted by superwid in Bukan Saya.
2 comments

Pagi itu libur dan saya mengintip dari balik tirai jendela, mengawasi rumah Dadan Galau yang jaraknya hanya selemparan batu. Saya mau main ke rumahnya tapi tidak mau tenaga saya terbuang sia-sia dan hanya mendapat lapar dahaga. Maklum, dia tipikal kuli sibuk. Kalau tidak kerja ya suka bersepeda sebagai salah satu program dietnya. Jadi daripada saya ke rumahnya tiada bersambut lebih baik saya amati dulu sambil minum es serut. Sruuuuutttt….

Setelah diamati dengan seksama, indikasi lampu luar yang masih menyala, mobil terparkir sembarangan, telepon dan sms yang tidak terbalas bisa saya simpulkan kalau dia masih belum lepas dari kasur. Saya sudah hapal dengan kelakuannya, kala akhir pekan tiba tidurnya bisa tidak kira-kira. Sampai jodohnya habis dipatok ayam juga dia tidak akan terjaga. Bagaimana tidak hapal, hampir enam bulan lamanya kami berbagi kamar waktu masih jadi kuli percobaan. Maka dari itu kadang saya sering diminta menginap di rumahnya.

(more…)

Media dan Bahasa October 13, 2012

Posted by superwid in Bukan Saya.
Tags: , , ,
add a comment

Lomba Blog Kebahasaan dan Kesastraan Bulan Bahasa dan Sastra 2012

Pemakaian bahasa yang tepat dalam media massa adalah guru yang paling berpengaruh dan akan memiliki dampak yang positif dalam pemakaian bahasa masyarakat. Sebaliknya, jika bahasa dalam media massa kacau, akan memberikan pengaruh yang negatif, terutama bagi mereka yang tidak tahu akan kaidah bahasa.
Kiki Zakiah Nur, S.S.

Media memainkan peranan penting pada masa sekarang ini. Dalam era globalisasi dimana informasi berputar dengan sangat cepat dan bebas, media memiliki pengaruh yang sangat besar dalam merubah tatanan dan pola pikir masyarakat. Biasanya apa yang menjadi tren di satu komunitas atau daerah kemudian melalui media menyebar dengan cepat sehingga menjadi tren di komunitas atau daerah yang lebih luas. Inilah yang sering disebut dengan budaya popuper – yang sering disingkat dengan budaya pop. Jika diibaratkan budaya pop sebagai Tuhan maka media menjadi kitab suci sekaligus nabi yang membawa berbagai macam nilai-nilai yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat.

Media memiliki berbagai macam bentuk dalam kesehariannya. Saat ini mungkin media yang paling berpengaruh dalam penyebaran budaya pop adalah media televisi dan media internet. Media televisi melalui berbagai tayangannya, seperti sinema elektronik dan tayangan musik, menyasar golongan menengah ke bawah sedangkan media internet melalui Facebook dan Twitter mengambil pasar menengah ke atas; meskipun kini kenyataannya masyarakat berbagai golongan mulai ‘melek internet’. Media televisi yang dimiliki seluruh lapisan masyarakat kini mulai tersaingi oleh media Internet yang cepat mengambil tempat sehingga kduanya sekarang memiliki pengaruh yang luas di masyarakat.

Melalui berbagai media tersebut budaya pop berkembang. Sayangnya budaya pop yang kini berkembang dengan luas di masyarakat Indonesia tidak mencerminkan budaya masyarakat Indonesia itu sendiri. Apa-apa saja yang dianggap unik, lucu, nyleneh kemudian berkembang menjadi suatu topik bahasan yang ramai dibicarakan. Terutama dengan adanya media internet yang bisa diakses oleh banyak orang melalui telepon genggam. Masyarakat cenderung latah untuk mengikuti apa yang banyak dibicarakan. Padahal yang banyak belum tentu benar kan?

Perkembangan budaya pop ini sejalan dengan berkembangnya budaya instan dimana pada akhirnya semua yang unik akan menjadi topik yang hangat dibicarakan tanpa perlu tahu latar belakang topik ini menjadi tren di masyarakat.

Cius dari serius; Miapah dari demi apa (apakah ‘demi apa’ merupakan kalimat baku pula?) merupakan contoh kata yang mungkin unik. Sesuatu yang mungkin dianggap lucu namun disadari atau tidak merubah struktur dan pola pikir masyarakat. Media yang mempopulerkannya? Internet. Melalui Facebook dan Twitter kata-kata yang jamak disebut kata gaul ini beredar. Anak-anak usia remaja bahkan orang dewasa dan profesional muda seakan-akan berlomba untuk ‘memasarkan’ kata-kata gaul seperti ini yang dianggap keren. Bayangkan jika kata-kata itu disampaikan langsung dalam percakapan sehari-hari? Aneh bukan? Namun ini telah menjadi budaya pop yang beredar luas dan sulit untuk dihambat penyebarannya. Bagaimana perasaan J.S. Badudu menyikapi masalah ini ya?

Kata-kata seperti di atas sejatinya timbul karena keterbatasan ruang untuk menulis. Twitter membatasi ruang menulis sepanjang 140 karakter, SMS membatasi sepanjang 160 karakter sehingga penyingkatan kata seakan jadi wajar dilakukan. Kenapa? Agar semua informasi bisa tertampung dalam 140 atau 160 karakter tersebut. Kemudian ditambah dengan kecenderungan masyarakat sekarang yang terlalu sibuk dan enggan untuk mencermati kata per kata karena budaya pop tadi telah mempopulerkan kata-kata singkatan atau kata-kata gaul tersebut. Lagipula kecenderungan masyarakat merasa sudah paham dan menguasai bahasanya sehingga malas untuk sekadar membuka kamus ataupun melakukan studi tata bahasa. Facebook dan blog mempunyai permasalahan yang sama ketika budaya instan menginginkan segala yang singkat dan instan justru menjadi topik yang menarik dan informatif.

Selanjutnya pengunaan kata ganti orang pertama “gue” dan kata ganti orang kedua “lu” yang kini banyak digunakan oleh berbagai pihak. Menjadi sesuatu yang aneh saat ini ketika percakapan dalam Bahasa Indonesia mayoritas menggunakan kata “gue” dan “lu”. Untuk kasus ini televisi memainkan peranan penting dalam penyebarannya. Televisi, utamanya melalui sinema elektronik, sangat intens menggunakan kedua kosakata ini. Hampir semua sinetron dalam jam tayang utama menggunakan kedua kata ini dalam naskahnya. Dua kata yang masif beredar di masyarakat metropolis ini menjadi budaya pop yang mempengaruhi masyarakat Indonesia. Miris juga ketika anak-anak di daerah yang seharusnya memakai “aku-kamu” dalam percakapan Bahasa Indonesia atau “ikam-ulun” dalam percakapan bahasa daerah justru menggunakan kata “gue-lu” dengan cengkok bahasa daerahnya dalam percakapan sehari-hari. Seakan-akan gaya bahasa “Jakarta” dianggap seksi dan keren.

Belum lagi bahasa prokem yang sempat populer digunakan dalam pergaulan anak muda Jakarta pada era tahun 80-an hingga awal 90-an atau bahasa gaul ala Debby Sahertian yang mengacak-acak tatanan Bahasa Indonesia. Kemudian bahasa gaul tulisan yang kerap disebut ‘bahasa alay’ yang sering menimbulkan salah paham dalam penafsirannya. Ditambah dengan (maaf) bahasa banci yang cukup sering digunakan dalam percakapan sehari-hari entah dengan alasan lucu, unik atau memang identitas diri.

Saya sendiri risih membaca linimasa jejaring sosial Facebook yang entah bahasa, tanda baca atau penggunaan hurufnya kurang sesuai. Apalagi menggunakan kata-kata yang merusak tatanan bahasa, entah itu Bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah yang baik dan benar. Belum lagi di linimasa Twitter yang dibatasi karakternya. Media telah menjadi mesin pembunuh tatanan bahasa yang baku.

Padahal selayaknya media membantu dalam menjaga dan mengembangkan bahasa sesuau dengan kaidah yang ada.

Tapi kembali lagi kepada pepatah lama.

Pisau tidak punya tendensi benar atau salah, tapi penggunanya yang mempunyai kepentingan. Media hanya alat, manusia sebagai pelaku semestinya lebih bijak dalam menggunakan alat ini.

Memang bahasa selalu berkembang, menerima masukan dan tambahan dari bahasa lain. Dan melalui media seharusnya kita bisa menambah kosakata dan kekayaan Bahasa Indonesia sesuai dengan tatanan bahasa dengan memperhatikan masalah bahasa sebagai sarana pertukaran informasi yang efektif dan efisien.

Geng Gabil August 2, 2010

Posted by superwid in Bukan Saya.
7 comments

Baru-baru ini saya, Mardi dan Joko bernostalgia tentang masa muda kami dalam menghadapi kerasnya dunia. Dunia dan masa muda dalam artian perjaka-perjaka seperti kami berarti kisah cinta dan asmara. Gejolak kawula muda. Bercerita tentang Ucup dan romantika gadis beserta pulsa, kepedihan Mardi yang tak berujung cintanya maupun Joko yang selalu bahagia meskipun lebih sering ditinggal kawin “Esti Family”, kumpulan perempuan pujaannya yang dikaruniai anugerah tiada terkira untuk tidak turut memuja Joko.

Dari obrolan tidak jelas itu, akhirnya terkuak tentang Geng Gabrut. Persaudaraan yang saya pikir sudah seterkenal Fellowship of the Ring, sefenomenal La Cosa Nostra ini ternyata pemberitaannya tidak seheboh yang saya perkìrakan. Jeblok di pasaran. Viral marketingnya gagal total. Buktinya Mardi saja tidak tahu tentang perkumpulan suci ini. Padahal dia termasuk salah satu intel dan analis handal. Pasti ini gara-gara branding Geng Gabrut yang acakadul.

(more…)

Protected: Sajak July 1, 2010

Posted by superwid in Bukan Saya.
Enter your password to view comments.

This content is password protected. To view it please enter your password below:

Sabar June 6, 2010

Posted by superwid in Bukan Saya.
1 comment so far

Sabar dan ikhlas merupakan modal penting untuk ziarah ke tanah Arab di samping duit bergepok-gepok yang wajib dilunasi beberapa bulan sebelum keberangkatan. Toh sebenarnya duit itu juga bukan syarat mutlak, bisa saja tiba-tiba antum dapat hadiah dari bank buat naik haji atau ada yang khilaf iseng ngajak antum sekalian sowan ke tanah suci. Masalah materi memang tidak bisa diduga.

Lain halnya dengan modal sabar dan ikhlas tadi. Ini semua berkaitan dengan pribadi masing-masing. Semuanya bermuara pada satu hal, niat. Niat tidak bisa diharapkan turun dari langit seperti halnya hadiah dari bank atau ada yang iseng memberikannya. Niat itu dari hati dan niat yang dari hati itu harus ikhlas. Ikhlas berkaitan dengan sabar dan tawakal dalam menjalani kehidupan.

Masalah sabar ini sangat penting bagi orang-orang yang hendak bepergian ke tanah suci. Kalau tidak sabar ya jangan ke tanah suci. Di sana kita harus menerima semua yang ada dan diberikan. Konon kabarnya, itu adalah balasan atas segala tindakan yang dilakukan di Indonesia. Jadi pasrah saja lah, ikhlas. Sabar dan tawakal atas apa yang didapatkan di sana. Begitulah kiranya doktrin yang ditanamkan pada orang-orang Indonesia yang hendak ziarah.

(more…)